Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal dari alaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani).
Tauhid uluhiyah merupakan intisari ajaran Islam. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus kepada seorang rasul pun sebelum kami -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…” (lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Tauhid uluhiyah bisa didefinisikan sebagai: mengesakan Allah dengan perbuatan hamba. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Dari sini pula, dapat dipahami bahwa makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallah adalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (laa ma’buda haqqun illallah). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah al-Haq/sesembahan yang benar, adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62) (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillat at-Tauhid, hal. 25 karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ilah (sesembahan) kalian adalah ilah yang satu saja. Tidak ada ilah yang benar selain Dia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163).
Oleh sebab itu orang-orang musyrik ketika mendengar dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun mengatakan (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- akan menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu ilah saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan kami gara-gara ucapan seorang penyair gila?”.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Apabila hal ini telah jelas, maka tentu saja dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa penafsiran laa ilaha illallah dengan ungkapan ‘Tiada pencipta selain Allah‘, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah sebuah kesalahpahaman (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-‘Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)